Buat saya, menjadi ibu bagi kedua putri saya adalah anugerah terindah dalam hidup saya, dan saya yakin hampir semua orangtua merasakan demikian. Dalam perjalanan waktu sebagai konselor dan terapis, tak jarang, saya bertemu dengan para orangtua yang merasa komunikasi dengan anak adalah suatu kendala besar. Seolah-olah mereka berbicara dalam ‘bahasa’ yang berbeda.
“Dalam sebuah komunikasi ketika Bahasa kata tak lagi dipahami, gunakan Bahasa Cinta.” Fiona Wang, Dec 2015
Di sebuah sesi konseling, seorang ibu berkata pada saya, “saya tidak tahu mengapa anak saya yang sulung suka sekali memancing kemarahan saya. Saya selalu berusaha memulai suatu percakapan baik-baik dan selalu diakhiri dengan berteriak-teriak. Dia selalu memancing saya untuk marah dan menjerit.” Dalam sebuah percakapan ketika Anda perlu menjerit, artinya hatinya sedang jauh maka dekatkanlah… bukan nada bicaranya dinaikkan tetapi justru harus direndahkan dan dipelankan. Sambil memandang dalam-dalam ke mata anak Anda, kirimkan pancaran cinta dan berucaplah perlahan untuk menekankan pesan yang ingin disampaikan.
Ada 2 hal yang prinsip dalam komunikasi orangtua dan anak, yaitu Pesan itu sendiri dan Cara Menyampaikannya. Sering kali orangtua memberikan pesan larangan atau perintah kepada anak tidak dengan alasan yang tepat, misalnya alasan norma/ aturan atau alasan yang bermanfaat bagi anak atau dan kepentingan anak tetapi dengan alasan benefit buat orangtua. Contoh ketika anak berbicara dengan suara keras dan terlalu bersemangat, ibunya mengatakan, “pelankan suaramu donk, mama pusinggg dengar suaramu yang brisik.” Ini bisa membuat anak merasa dirinya annoying, menjadi sumber masalah dan dapat menciptakan belief negativetertentu dalam diri anak. Bandingkan respons dari anak jika dikatakan, “Sayang, dengan suara yang perlahan saja sudah kedengaran kok.” Tanpa perintah langsung, biasanya anak akan langsung menurunkan volume suaranya. Tekankan langsung ke inti pesannya dalam posisi netral.
Sering kali juga saya malah tidak berkata-kata hanya memeluk anak saya erat-erat, misalnya ketika ia menceritakan pengalaman yang kurang menyenangkan dengan teman-temannya di sekolah. Setelah merasakan dia sudah lebih tenang, saya bertanya, “apakah kamu sudah memaafkan kenakalan temanmu kemarin?” Pertanyaan ini mengembalikan kunci sikap ke anak, bagaimana dia mau bersikap, ia bisa terus-terusan marah ataupun memaafkan. Jika anak menjawab,”sudah sih…”, Anda bisa katakan, “mama tau kami anak yang pemaaf dan penyayang.” Bisa saja karena sangat kesal, anak menjawab belum, atau bahkan ga mau maafin. Anda bisa langsung memasukkan sugesti, numpung anak berada dalam kondisi peak emotionmarah dan kesel, “mungkin sekarang belum tapi semakin lama, kamu sudah semakin bisa memaafkan. Lihat besok pagi deh, kamu sudah merasa jauh lebih baik dan bisa memaafkan temanmu.”
Hal lain yang perlu ditekankan adalah ‘Kenakalan temanmu kemarin.’ Yang tidak disukai anak adalah kenakalan yang dilakukan temannya kemarin jadi bukan temannya yang tidak ia disukai. Anak diajarkan untuk membedakan antara Perilaku dan Pribadi. Satu perilaku nakal temannya tidak berarti temannya anak yang nakal. Hal ini juga melokalisir kekesalan anak, bukan pada temannya tapi hanya pada kenakalannya yang kemarin itu. Anak perlu diajarkan untuk mengecilkan masalah dan diselesaikan, bukan belajar memblow-upmasalah lalu terjebak di dalamnya.
Masalah lain yang menjadi horror bagi anak-anak adalah bahwa untuk setiap perbuatan dan tingkah-laku mereka, ‘sayang’ Anda adalah rewardsnya dan ‘tidak sayang’ Anda adalah punishmentnya. Sering saya mendengar orangtua mengatakan, “ayo kamu juara donk, baru anak mama dan disayang mama.” Bawah sadar anak Anda mungkin menjerit, “hellowww.. jadi kalo aku ga juara, ga disayang gito?” Atau Ada orangtua yang menempatkan anaknya harus berjuang keras untuk mendapatkan kasih sayangnya. “kalau kamu masih nakal, bukan anak papa, papa tidak sayang lagi sama kamu.” Betapa beratnya beban anak jika untuk setiap kesalahan mereka, kasih sayang orangtua adalah taruhannya. Mungkin Anda bisa bilang, “ah, mereka tau kok maksudnya ga begitu.” Nah, kalau bukan begitu maksudnya untuk apa Anda katakan? Pelajaran apakah yang sedang ditanamkan ke anak? Apalagi statements ini bisa disalahartikan bawah sadar sebagai hal yang sangat mendera batin mereka. Ketika anak salah, beri tahu anak Anda bahwa Anda sedang tidak berkenan dengan perbuatan mereka tapi tekankan bahwa Anda tetap menyayangi mereka tanpa syarat. “Nak, kamu tahu kalo Mami selalu sayang kamu, dan mami akan semakin bangga padamu jika kamu bisa naik kelas dengan nilai memuaskan.” Atau. “Ayah menghukummu bukan karena ayah tidak sayang padamu. Namun supaya kamu belajar dari kecerobohan ini, ayah akan potong uang jajanmu seminggu untuk mengganti kaca jendela yang pecah. Lain kali kalau main bola, mainlah di lapangan dan lebih berhati-hati.”
Cara komunikasi anak ke orangtua biasanya adalah cermin cara komunikasi orangtua ke anak. Mereka mencontoh dan memodel orang-orang terdekatnya. Mungkin mereka pernah mencontoh yang kurang baik tapi mereka juga akan mencontoh yang baik ketika merasakan betapa mereka nyaman dengan yang baik itu. Mulailah merubah styleberkomunikasi dari orangtua, ke pasangan, anak, dan anggota keluarga yang lain. Dalam hubungan dengan siapapun termasuk anak, mengesampingkan ego dan kepentingan pribadi serta mengedepankan Bahasa Cinta selalu mendamaikan hati dan mempermudah komunikasi.
Dari Hati Seorang Ibu
Fiona Wang
Karawaci, 2015